Van De Venter
Sejarah
Van De Venter
Conrad Theodore van
Deventer (1857-1915)
dikenal sebagai seorang ahli hukum Belanda dan juga tokoh Politik
Etis.
Dia pada usia muda
bertolak ke Hindia Belanda. Dalam waktu sepuluh tahun, Deventer telah menjadi
kaya, karena perkebunan perkebunan swasta serta maskapai minyak BPM yang
bermunculan saat itu banyak membutuhkan jasa penasihat hukum.
Pada sebuah surat
tertanggal 30 April 1886 yang
ditujukan untuk orang tuanya, Deventer mengemukakan perlunya sebuah tindakan
yang lebih manusiawi bagi pribumi karena
mengkhawatirkan akan kebangkrutan yang dialami Spanyol akibat salah pengelolaan
tanah jajahan.
Lalu pada 1899 Deventer
menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een
Eereschuld (Hutang kehormatan). Pengertian Eereschuld secara substasial
adalah "Hutang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat di
tuntut dimuka hakim". Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang
menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan
aman (adanya kereta api, bendungan-bendungan, dst) adalah hasil kolonialisasi
yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda ("Indonesia"),
sementara Hindia Belanda saat itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah
sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan.
Ketika Deventer menjadi
anggota Parlemen Belanda, ia menerima tugas dari menteri daerah jajahan Idenburg untuk
menyusun sebuah laporan mengenai keadaan ekonomi rakyat pribumi di Jawa dan
Madura. Dalam waktu satu tahun, Deventer berhasil menyelesaikan tugasnya (1904).
Dengan terbuka Deventer mengungkapkan keadaan yang menyedihkan, kemudian dengan
tegas mempersalahkan kebijakan pemerintah. Tulisan itu sangat terkenal, dan
tentu saja mengundang banyak reaksi pro-kontra. Sebuah tulisan lain yang tak
kalah terkenalnya adalah yang dimuat oleh De Gids juga (1908)
ialah sebuah uraian tentang Hari Depan Insulinde, yang menjabarkan
prinsip-prinsip etis bagi beleid pemerintah terhadap tanah jajahannya.
Yayasan
Kartini
Ketika pada
tahuan 1911 surat-surat Kartini diterbitkan,
Van Deventer terkesan sekali, sehingga tergerak untuk menulis sebuah resensi
yang panjang-lebar, sekadar untuk menyebarluaskan cita-cita Kartini, yang cocok
dengan cita-cita Deventer sendiri : mengangkat bangsa pribumi secara
rohani dan ekonomis, memperjuangkan emansipasi mereka.
Secara pribadi, Van
Deventer pernah bertemu dengan Kartini, waktu puteri Bupati Jepara itu berumur
12 tahun, tapi komunikasi tidak berlanjut. Waktu Kartini mulai menulis
surat-suratnya kepada teman-teman puteri di Negeri Belanda, keluarga Van
Deventer sudah meninggalkan Indonesia. Baru lewat surat-surat terbitan Abendanon,
keluarga Deventer menaruh minat terhadap cita-cita Kartini.
Sejak itulah, Nyonya
Van Deventer tampil ke muka. Tahun 1913 ia
mendirikan Yayasan Kartini, yang dimaksudkan untuk membuka sekolah-sekolah bagi
puteri-puteri pribumi sesudah van Deventer meninggal (1915), Nyonya Deventer
sendirilah yang mengurus segala-galanya dengan tak kenal lelah. Ribuan murid
puteri pun memasuki "Sekolah Kartini"
yang bernaung dibawah Yayasan Kartini.
Waktu Belanda diduduki
Jerman (1942), Nyonya Deventer meninggal dalam usia 85 tahun. Ia mewariskan
sejumlah besar dana yang harus dimanfaatkan untuk memajukan bangsa Indonesia
dalam bidang pendidikan. Selanjutnya dana tersebut dikelola oleh Van
Deventer-Maas Stichting.
Latar
Belakang
"Indie verloren,
rampspoed genoren" (kehilangan Hindia, lahirnya malapetaka) Keperdulian
Mr. Conrad Theodor van Deventer terhadap kesejahteraan dan pendidikan kaum
bumiputera Hindia Belanda barangkali didasari oleh kecemasan akan kehilangan
tanah kolonial. Namun, disadari atau tidak, Politik Etis yang digagas van
Deventer menjadi tonggak awal pencerahan kaum bumiputera.
Memang, yang awalnya
mendapat kesempatan mencicipi pendidikan modern di Barat hanyalah segelintir
kaum elit pribumi. Namun ternyata mereka kelak menjadi pelopor gerakan
kemerdekaan Indonesia di awal abad 20. Pemikiran van Deventer sebetulnya
mewakili kegelisahan beberapa kalangan orang Belanda sendiri. Penindasan di
tanah kolonial yang memuncak pasca Tanam Paksa telah menggelisahkan mereka yang
anti-eksploitasi,
seperti Dirk van Hogendorp, Baron van Hoevel (seorang pendeta dan penentang
tanam paksa), Multatuli, dan lain-lain. Mereka mencemaskan pecahnya gejolak
rakyat di tanah jajahan, yang ternyata bisa membuat perekonomian Belanda
bangkrut, seperti yang terjadi setelah Perang Diponegoro.
Intinya, Politik Etis
yang dikemukakan van Deventer adalah U politik balas budi" bagi rakyat
tanah jajahan. Modernisasi negeri Belanda dibiayai oleh hasil dari tanah
jajahan. Karena itu dipandang perlu untuk berterima kasih kepada kaum
bumiputera, antara lain dengan cara memberi mereka kesempatan mencicipi
pendidikan di Barat. Menurut van Deventer tanggung jawab dan kewajiban
meningkatkan kesejahteraan rakyat itu adalah eereschuld (utang budi atau utang
kehormatan) Belanda terhadap masyarakat pribumi, khususnya di Jawa (dan
Madura).
Lahir di Kota
Dordrecht, Nederland, 29 September 1857. Ayahnya adalah Direktur Sekolah
Menengah (HBS) di Dordrechat, tempat ia juga tamat pada tahun 1875. Pada tahun
itu juga van Deventer menjadi mahasiswa di fakultas hukum Universitas Leiden.
Pada tahun 1879 ia memperoleh gelar doktor ilmu hukum dengan disertasinya yang
membahas tentang posisi hukum koloni-koloni menurut konstitusi Belanda.
Berbekal latar belakang pendidikan yang cukup, pada 1880, van Deventer lulus
groot-ambtenaars examen
(ujian pejabat tinggi
kolonial) dan berangkat ke Hindia Belanda. Ia bekerja sebagai hakim sampai
tahun 1885 dan menjadi pengacara di Semarang sampai 1897. Kasus penjualan candu
ilegal dan perkara warisan orang Tionghoa kaya, memberinya pendapatan dalarn
jurnlah yang lurnayan untuknya. Menurut sejarahwan Fasseur, hal itu juga
rnungkin rnernberikannya rasa bersalah. Pada tahun 1897 ia kernbali ke negeri
Belanda.
Pengalarnan di Hindia
Belanda rnendorongnya rnenulis artikel di rnajalah de Gids (1899) yang berisi
tentang rnengapa dan apa politik etis itu. Ia rnenawarkan tiga jalan untuk
rnenaikkan tingkat kemakmuran rakyat; yakni edukasi, ernigrasi (transrnigrasi)
untuk mengurangi jumlah penduduk Jawa, dan perluasan irigasi untuk menambah
kesuburan sawah serta rnenaikkan produksi pangan. Meski tulisan van Deventer
agak membosankan, tapi masyarakat cepat tanggap dan menerima ide pragmatis dan
non-ideologis tersebut, apalagi rnornentumnya bertepatan dengan datangnya abad
baru dan ratu baru. Gagasan van Deventer diterima dan diresmikan oleh Sri Ratu.
Politik etis terus
beljalan walau muncul kritik di sana sini. Sebagai langkah awaI, dibentuklah
Komisi Mindere-welvaart untuk rakyat Jawa dan Madura. Pada tahun 1904 Conrad
Th. van Deventer diangkat menjadi Ketua Kornisi Kemiskinan tersebut dan
ditugaskan meneliti kerniskinan di Jawa dan Madura. Akhirnya konsep koloni
eksploitasi pun dihentikan. Tahun 1905, utang pemerintah Hindia Belanda sebesar
40 juta gulden dinyatakan sebagai utang kerajaan dengan ketentuan dalarn
tahun-tahun berikutnya, uang itu akan dibayarkan dalam bentuk usaha-usaha untuk
kemakmuran rakyat pribumi.
Tahun 1902, van
Deventer diangkat menjadi anggota redaksi majalah de Gids. Kumpulan artikeInya
setebal tiga jilid tebal diterbitkan di Amsterdam pada 1916. Pada 1905-1909,
van Deventer menjadi anggota Tweede Kamer (parlemen) dan selanjutnya menjadi
Eerste Kamer (Senat) Belanda. Pada tahun 1913, ia kembali dipilih menjadi
anggota Tweede Kamer. Ia tetap mempropagandakan arti penting perluasan
pendidikan kepada anak-anak Jawa, pembangunan irigasi, dan penyelenggaran
transmigrasi dari Jawa ke Sumatera yang disebut Pulau Harapan.
Van Deventer mengagumi
Thomas Stamford Raffles gubernur jenderal Inggris di Jawa (1812-1816) yang
menciptakan pajak tanah, dan penulis History of Java; van der Capellen
(1825-1830) yang terkenal sebagai
pembela rakyat ked I;
dan Fransenn van der Putte, menteri koloni (1870) yang menghapus sistem tanam
paksa dan melakukan swastanisasi perkebunan di tanah kolonial. Meski berjasa
besar pada lahirnya Indonesia, toh ia jelas bukan orang radikal yang menentang
kolonialisme. Ia merestui berlanjutnya perang Aceh sampai titik darah
penghabisan. Van Deventer tidak pernah menghendaki pemutusan hubungan an tara
kolonial dan kesatuan wilayah kerajaan.
Politik etis efektif
berjalan sampai 1905. Dua puluh lima tahun kemudian politik ini benar-benar
ditinggalkan
oleh pemerintah Hindia
Belanda, akibat depresi ekonomi yang berat. Van Deventer meninggal 27 September
1915 di Den Haag. Ia mewariskan kekayaannya kepada Yayasan van Deventer-Maas
untuk memberikan beasiswa bagi pemuda-pemuda Jawa yang berbakat.