Friday, August 14, 2015

Van De Venter

Van De Venter



Conrad Theodore van Deventer (1857-1915) dikenal sebagai seorang ahli hukum Belanda dan juga tokoh Politik Etis.
Dia pada usia muda bertolak ke Hindia Belanda. Dalam waktu sepuluh tahun, Deventer telah menjadi kaya, karena perkebunan perkebunan swasta serta maskapai minyak BPM yang bermunculan saat itu banyak membutuhkan jasa penasihat hukum.
Pada sebuah surat tertanggal 30 April 1886 yang ditujukan untuk orang tuanya, Deventer mengemukakan perlunya sebuah tindakan yang lebih manusiawi bagi pribumi karena mengkhawatirkan akan kebangkrutan yang dialami Spanyol akibat salah pengelolaan tanah jajahan.
Lalu pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Pengertian Eereschuld secara substasial adalah "Hutang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat di tuntut dimuka hakim". Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan aman (adanya kereta api, bendungan-bendungan, dst) adalah hasil kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda ("Indonesia"), sementara Hindia Belanda saat itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan.
Ketika Deventer menjadi anggota Parlemen Belanda, ia menerima tugas dari menteri daerah jajahan Idenburg untuk menyusun sebuah laporan mengenai keadaan ekonomi rakyat pribumi di Jawa dan Madura. Dalam waktu satu tahun, Deventer berhasil menyelesaikan tugasnya (1904). Dengan terbuka Deventer mengungkapkan keadaan yang menyedihkan, kemudian dengan tegas mempersalahkan kebijakan pemerintah. Tulisan itu sangat terkenal, dan tentu saja mengundang banyak reaksi pro-kontra. Sebuah tulisan lain yang tak kalah terkenalnya adalah yang dimuat oleh De Gids juga (1908) ialah sebuah uraian tentang Hari Depan Insulinde, yang menjabarkan prinsip-prinsip etis bagi beleid pemerintah terhadap tanah jajahannya.

Yayasan Kartini
Ketika pada tahuan 1911 surat-surat Kartini diterbitkan, Van Deventer terkesan sekali, sehingga tergerak untuk menulis sebuah resensi yang panjang-lebar, sekadar untuk menyebarluaskan cita-cita Kartini, yang cocok dengan cita-cita Deventer sendiri : mengangkat bangsa pribumi secara rohani dan ekonomis, memperjuangkan emansipasi mereka.
Secara pribadi, Van Deventer pernah bertemu dengan Kartini, waktu puteri Bupati Jepara itu berumur 12 tahun, tapi komunikasi tidak berlanjut. Waktu Kartini mulai menulis surat-suratnya kepada teman-teman puteri di Negeri Belanda, keluarga Van Deventer sudah meninggalkan Indonesia. Baru lewat surat-surat terbitan Abendanon, keluarga Deventer menaruh minat terhadap cita-cita Kartini.
Sejak itulah, Nyonya Van Deventer tampil ke muka. Tahun 1913 ia mendirikan Yayasan Kartini, yang dimaksudkan untuk membuka sekolah-sekolah bagi puteri-puteri pribumi sesudah van Deventer meninggal (1915), Nyonya Deventer sendirilah yang mengurus segala-galanya dengan tak kenal lelah. Ribuan murid puteri pun memasuki "Sekolah Kartini" yang bernaung dibawah Yayasan Kartini.
Waktu Belanda diduduki Jerman (1942), Nyonya Deventer meninggal dalam usia 85 tahun. Ia mewariskan sejumlah besar dana yang harus dimanfaatkan untuk memajukan bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan. Selanjutnya dana tersebut dikelola oleh Van Deventer-Maas Stichting.

Latar Belakang
"Indie verloren, rampspoed genoren" (kehilangan Hindia, lahirnya malapetaka) Keperdulian Mr. Conrad Theodor van Deventer terhadap kesejahteraan dan pendidikan kaum bumiputera Hindia Belanda barangkali didasari oleh kecemasan akan kehilangan tanah kolonial. Namun, disadari atau tidak, Politik Etis yang digagas van Deventer menjadi tonggak awal pencerahan kaum bumiputera.
Memang, yang awalnya mendapat kesempatan mencicipi pendidikan modern di Barat hanyalah segelintir kaum elit pribumi. Namun ternyata mereka kelak menjadi pelopor gerakan kemerdekaan Indonesia di awal abad 20. Pemikiran van Deventer sebetulnya mewakili kegelisahan beberapa kalangan orang Belanda sendiri. Penindasan di tanah kolonial yang memuncak pasca Tanam Paksa telah menggelisahkan mereka yang
anti-eksploitasi, seperti Dirk van Hogendorp, Baron van Hoevel (seorang pendeta dan penentang tanam paksa), Multatuli, dan lain-lain. Mereka mencemaskan pecahnya gejolak rakyat di tanah jajahan, yang ternyata bisa membuat perekonomian Belanda bangkrut, seperti yang terjadi setelah Perang Diponegoro.
Intinya, Politik Etis yang dikemukakan van Deventer adalah U politik balas budi" bagi rakyat tanah jajahan. Modernisasi negeri Belanda dibiayai oleh hasil dari tanah jajahan. Karena itu dipandang perlu untuk berterima kasih kepada kaum bumiputera, antara lain dengan cara memberi mereka kesempatan mencicipi pendidikan di Barat. Menurut van Deventer tanggung jawab dan kewajiban meningkatkan kesejahteraan rakyat itu adalah eereschuld (utang budi atau utang kehormatan) Belanda terhadap masyarakat pribumi, khususnya di Jawa (dan Madura).
Lahir di Kota Dordrecht, Nederland, 29 September 1857. Ayahnya adalah Direktur Sekolah Menengah (HBS) di Dordrechat, tempat ia juga tamat pada tahun 1875. Pada tahun itu juga van Deventer menjadi mahasiswa di fakultas hukum Universitas Leiden. Pada tahun 1879 ia memperoleh gelar doktor ilmu hukum dengan disertasinya yang membahas tentang posisi hukum koloni-koloni menurut konstitusi Belanda. Berbekal latar belakang pendidikan yang cukup, pada 1880, van Deventer lulus groot-ambtenaars examen
(ujian pejabat tinggi kolonial) dan berangkat ke Hindia Belanda. Ia bekerja sebagai hakim sampai tahun 1885 dan menjadi pengacara di Semarang sampai 1897. Kasus penjualan candu ilegal dan perkara warisan orang Tionghoa kaya, memberinya pendapatan dalarn jurnlah yang lurnayan untuknya. Menurut sejarahwan Fasseur, hal itu juga rnungkin rnernberikannya rasa bersalah. Pada tahun 1897 ia kernbali ke negeri Belanda.

Pengalarnan di Hindia Belanda rnendorongnya rnenulis artikel di rnajalah de Gids (1899) yang berisi tentang rnengapa dan apa politik etis itu. Ia rnenawarkan tiga jalan untuk rnenaikkan tingkat kemakmuran rakyat; yakni edukasi, ernigrasi (transrnigrasi) untuk mengurangi jumlah penduduk Jawa, dan perluasan irigasi untuk menambah kesuburan sawah serta rnenaikkan produksi pangan. Meski tulisan van Deventer agak membosankan, tapi masyarakat cepat tanggap dan menerima ide pragmatis dan non-ideologis tersebut, apalagi rnornentumnya bertepatan dengan datangnya abad baru dan ratu baru. Gagasan van Deventer diterima dan diresmikan oleh Sri Ratu.
Politik etis terus beljalan walau muncul kritik di sana sini. Sebagai langkah awaI, dibentuklah Komisi Mindere-welvaart untuk rakyat Jawa dan Madura. Pada tahun 1904 Conrad Th. van Deventer diangkat menjadi Ketua Kornisi Kemiskinan tersebut dan ditugaskan meneliti kerniskinan di Jawa dan Madura. Akhirnya konsep koloni eksploitasi pun dihentikan. Tahun 1905, utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 40 juta gulden dinyatakan sebagai utang kerajaan dengan ketentuan dalarn tahun-tahun berikutnya, uang itu akan dibayarkan dalam bentuk usaha-usaha untuk kemakmuran rakyat pribumi.
Tahun 1902, van Deventer diangkat menjadi anggota redaksi majalah de Gids. Kumpulan artikeInya setebal tiga jilid tebal diterbitkan di Amsterdam pada 1916. Pada 1905-1909, van Deventer menjadi anggota Tweede Kamer (parlemen) dan selanjutnya menjadi Eerste Kamer (Senat) Belanda. Pada tahun 1913, ia kembali dipilih menjadi anggota Tweede Kamer. Ia tetap mempropagandakan arti penting perluasan pendidikan kepada anak-anak Jawa, pembangunan irigasi, dan penyelenggaran transmigrasi dari Jawa ke Sumatera yang disebut Pulau Harapan.
Van Deventer mengagumi Thomas Stamford Raffles gubernur jenderal Inggris di Jawa (1812-1816) yang menciptakan pajak tanah, dan penulis History of Java; van der Capellen (1825-1830) yang terkenal sebagai
pembela rakyat ked I; dan Fransenn van der Putte, menteri koloni (1870) yang menghapus sistem tanam paksa dan melakukan swastanisasi perkebunan di tanah kolonial. Meski berjasa besar pada lahirnya Indonesia, toh ia jelas bukan orang radikal yang menentang kolonialisme. Ia merestui berlanjutnya perang Aceh sampai titik darah penghabisan. Van Deventer tidak pernah menghendaki pemutusan hubungan an tara kolonial dan kesatuan wilayah kerajaan.
Politik etis efektif berjalan sampai 1905. Dua puluh lima tahun kemudian politik ini benar-benar ditinggalkan
oleh pemerintah Hindia Belanda, akibat depresi ekonomi yang berat. Van Deventer meninggal 27 September 1915 di Den Haag. Ia mewariskan kekayaannya kepada Yayasan van Deventer-Maas untuk memberikan beasiswa bagi pemuda-pemuda Jawa yang berbakat.



Related Posts

Van De Venter
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.

1 komentar:

Tulis komentar